asd
spot_img

Caleg dan Baliho, Sebuah Catatan Otokritik

Kampanye menjadi satu bagian tahapan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), pesta politik lima tahunan ini menjadi momen bagi para Calon Anggota Legislatif (Caleg) dalam memperkenalkan diri melalui Alat Peraga Kampanye (APK). Demi perolehan suara, mereka para caleg berlomba memasang baliho dari ukuran mini hingga ukuran raksasa, dari yang hanya bermodalkan karung bekas hingga videotron mewah dengan biaya ratusan juta rupiah.

Menariknya, penggunaan APK ini sudah memiliki aturan tersendiri berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), ada area tertentu yang disepakati bersama untuk dibolehkan atau dilarang, dan hal ini tertuang dalam berita acara yang ditandatangani oleh semua Partai Politik (Parpol) peserta Pemilu.

Parpol bertanggungjawab mengedukasi calegnya agar taat aturan, pun demikian dengan caleg yang harusnya juga mengedukasi tim suksesnya perihal “do and dont” dalam pemasangan APK.

Kampanye Pemilu 2024 yang telah berlangsung sejak akhir tahun 2023 lalu, cukup membuktikan jika pengggunaan alat peraga kampanye berupa baliho ini selain berpotensi menghasilkan sampah visual juga pada akhirnya sangat berpotensi menghasilkan sampah plastik yang akan mengakibatkan terganggunya kelestarian lingkungan jika tidak terorganisir dengan baik.

Isu sampah visual itu bukan barang baru dan tidak hanya terjadi di tahun politik, terlebih saat ini rakyat kebanyakan sudah mulai kritis dan mempertanyakan efektivitas pemasangan baliho dan poster di jalanan terutama yang dipaku pada batang pohon. Langkah ini cukup mengindikasikan bahwa demokrasi tetap mengalami evaluasi dan transisi ke cara yang lebih ramah lingkungan.

Masalah sampah visual pada setiap pelaksanaan pemilu harusnya sudah mendapat perhatian lebih dari setiap kepala daerah. Pemasangan baliho dan spanduk yang tidak teratur, poster yang berserakan di jalanan, hingga bendera parpol yang entah kapan akan dilepas menambah pelik permasalahan sampah. Keberadaan sampah visual tersebut seringkali justru mengganggu keindahan dari sebuah kota, dan masyarakatlah yang seharusnya menyadari akan ketidaknyamanan tersebut.

Perlu kajian mendalam, bukan hanya tentang letak baliho dan spanduk tetapi juga keterkaitannya dengan bangunan yang bersifat permanen, area hijau, area pemerintahan, sekolah, sarana kesehatan agar tidak mengganggu fungsi sarana dan visual suatu daerah.

Dengan baliho yang semrawut dan tidak dipasang dengan baik maka tujuan branding yang diinginkan partai atau caleg hanya memperburuk citra mereka yang memang sudah buruk itu. Apalagi jika dengan sengaja memasang APK pada pohon dengan cara dipaku, ini tentunya akan menjadi preseden buruk buat lingkungan, pohon dapat menjadi rapuh akibat infeksi paku pada batang. Jika terhadap lingkungan saja mereka tidak peduli maka bagaimana mungkin mereka akan peduli pada pemilihnya?

Banyak daerah yang telah menerbitkan perda tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, salah satunya adalah Kabupaten Tanah Laut dengan Perda No 7 Tahun 2014. Seharusnya dengan menggunakan instrumen ini Pemerintah Daerah dapat menindak spanduk dan baliho yang melanggar aturan tanpa harus menunggu rekomendasi Bawaslu kecuali memang jika yang bermasalah adalah materi spanduknya, ini tentunya kembali pada PKPU dan rekomendasi Bawaslu.

Keberadaan sampah visual memang bukan hal baru, namun jangan sampai hal ini justru dinormalisasikan sehingga menghasilkan sampah sesungguhnya.

Penulis: Dr. Eka Prasetya Aneba, S.Kom., MBA
Direktur Eksekutif Ideham Khalid Research & Consulting (IKRC)
– Leader World Cleanup (WCD) Kalimantan Selatan
– Head Project Operation Nayaka Cyber Indonesia

Facebook Comments Box

spot_img

Must Read

Related Articles

Facebook Comments Box